Buka Jalan untuk Kaum Muda!

Posted: November 14, 2011 in artikel

Oleh : jack salatin

Kekalahan PDI Perjuangan dalam pemilu di era reformasi yang disebabkan oleh “pemimpin-pemimpinnya yang lupa diri”, kebangkrutan ideologi-politik partai (meninggalkan garis massa), dan tereksposnya kebusukan wakil partai di parlemen – tiga kenyataan ini dalam kesatuannya telah mendegradasi perolehan suara PDI Perjuangan pada pemilu 2009 sebesar 14 juta suara atau kehilangan 20 juta suara dibanding pada masa gemilangnya tahun 1999 dengan memperoleh 35 juta suara pemilih. Luar biasa!!! Kenyataan ini tak dapat diperbaiki dalam periode yang singkat. Popularitas PDI Perjuangan sebagai partai pembela wong cilik lambat tapi pasti semakin tergeser. Dalam sejarah partai politik diIndonesia“pada masa damai” belum ada satupun partai politik yang mengalami kebangkrutan suara seperti yang dialami PDI Perjuangan. PKI dan PNI, organisasinya hancur berantakan karena para pemimpin, kader dan pengikutnya mengalami “genosida”  oleh rezim militer saat itu. Berbeda juga dengan Golkar yang berubah nama menjadi partai golkar yang juga menurun perolehan suara karena golkar yang representasi dari orde baru pernah menjadi musuh bersama pada masa bergolaknya reformasi.

Generasi yang lebih tua, karena sudah menderita kekalahan-kekalahan yang telak, akan meninggalkan gerakan dalam jumlah yang besar. Tentu saja, bahkan di antara para kader partai yang dulu pernah bangkit ke depan, tidak sedikit dari mereka yang letih dan patah-semangat. Mereka ini akan tetap menjadi penonton di pinggiran, setidaknya untuk periode selanjutnya. Ketika sebuah program atau sebuah organisasi terkikis habis, maka generasi yang memanggul program atau organisasi tersebut di pundaknya akan terkikis habis bersamanya juga.

Gerakanmassaakan dibangkitkan kembali oleh kaum muda yang bebas dari tanggungjawab masa lalu. Sudah saatnya PDI Perjuangan memberikan perhatian yang khusus kepada generasi muda. Hanya rasa antusias yang baru dan jiwa agresif kaum muda yang dapat memastikan keberhasilan-keberhasilan awal dari perjuangan; dan hanya keberhasilan-keberhasilan inilah yang dapat mengembalikan elemen-elemen terbaik dari generasi yang lebih tua ke jalan kemenangan. Begitulah dulu, maka begitulah juga di masa yang akan datang.

Paraskeptis bertanya: Tetapi, apakah waktunya sudah tiba untuk memunculkan kaum muda dikalangan partai? Mereka mengatakan: tidak mungkin kita bisa memilih kaum muda secara “artifisial”; ia hanya bisa lahir dari peristiwa-peristiwa besar, dsb, dsb. Semua keberatan ini hanya menunjukkan bahwa para skeptis ini tidak berguna sama sekali dalam membentuk sebuah organisasi partai yang modern yang berkembang pada jamannya. Mereka tidak berguna sama sekali dalam segala hal.

Pemimpin muda telah lahir dari peristiwa-peristiwa besar: yakni kekalahan-kekalahan terbesar kaum tua di dalam sejarah. Sebab dari kekalahan-kekalahan ini dapat ditemukan di degenerasi dan pengkhianatan kepemimpinan yang lama. Tetapi, apakah waktunya sudah tiba untuk memproklamasikan pemimpin muda? … para skeptis ini tidak bisa diam. Kita jawab: pemimpin muda perlu “diproklamasikan” sekarang. Ia eksis dan ia berjuang. Apakah ia lemah? Ya, anggotanya tidak banyak karena ia masih muda. Mereka masih merupakan kader-kader muda. Tetapi kader-kader ini adalah janji masa depan. Siapa saja yang tidak bisa melihat ini sekarang, biarlah mereka berdiri di luar untuk saat ini. Esok hari, semuanya akan tampak lebih jelas.

PDI Perjuangan menjelang Pemilu 2014

Posted: November 9, 2011 in artikel

“PEMIMPIN BARU, CAPRES BARU”

(di resume oleh: jack salatin)

November 2011

Tahun 2014 nanti, Indonesia menyelenggarakan pemilu ke-4nya di era reformasi ini. Menghadapi pemilu 2014 di Indonesia, sebuah pergumulan yang intens muncul di dalam tubuh PDI Perjuangan mengenai strategi taktik apa yang harus diorganisir. Menelurusi garis sejarah pemilu di era reformasi tentunya tak dapat dilepaskan dari peristiwa pemilu pertama di Indonesia tahun 1955.  Pemilu “demokratis” yang pertama adalah pemilu 1955 di dalam sejarah Indonesia. Pemilu di era reformasi  pada tahun 1999, 2004 dan 2009 dianggap “demokratis” dalam arti mereka tidak diselenggarakan di bawah cengkraman kediktatoran rejim Soeharto.

Pemilu tahun 1955 dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis di Indonesia, karena lebih dari 30 partai menjadi kontestan. Hasil pemilu menunjukkan empat partai besar adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan partainya Soekarno; Masyumi, sebuah partai Islam sayap kanan; Nahdatul Ulama (NU), sebuah partai Islam yang memiliki hubungan kuat dengan tuan-tuan tanah dan yang lalu terlibat membantu Soeharto membantai PKI pada tahun 1965-66; dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemilu ini merefleksikan tiga kekuatan politik saat itu: Nasionalis, Islamis, dan Komunis.

 

Hasil Pemilu 1955

No

Partai Suara % Kursi

1

Partai Nasional Indonesia (PNI) 8.434.653 22,32 57

2

Masyumi 7.903.886 20,92 57

3

Nahdatul Ulama (NU) 6.955.141 18,41 45

4

Partai Komunis Indonesia (PKI) 6.179.914 16,36 39

5

Lain-Lain 8.311.705 21,99 59
TOTAL 37.785.299 100 257

PKI kembali ke peta politik di dalam pemilu ini setelah sebelumnya dihancurkan secara fisik 7 tahun yang lalu di peristiwa Madiun 1948. Periode selanjutnya adalah sebuah periode yang penuh gejolak dan sangat sulit. Indonesia berantakan secara ekonomi dan politik. Di dalam periode ini, PKI bertambah kuat karena mereka mampu memobilisasi dan mengorganisasi buruh dan tani. Jumlah anggota PKI loncat dari 165.000 pada tahun 1954 menjadi 1,5 juta pada tahun 1959. Pada pertengahan 1964, PKI mengklaim memiliki anggota sebanyak 3 juta. Selain itu, PKI juga memiliki banyak organisasi afiliasi: Pemuda Rakyat dengan 3 juta anggota, SOBSI dengan 3,5 juta anggota, Barisan Tani Indonesia dengan 8,5 juta anggota, dan Gerwani dengan 1,75 juta anggota. Secara kasar, hampir 1 dari 5 orang di Indonesia mempunyai hubungan dengan PKI. Setelah Uni Soviet dan RRC, PKI adalah partai komunis terbesar ketiga di dunia.

Pemilu pertama di bawah rejim Orde Baru diselenggarakan pada tahun 1971. Selain partainya rejim Soeharto, Golkar, ada 9 partisipan lainnya. Tidaklah mengejutkan kalau pemerintahan yang baru ini mengintervensi secara besar di dalam urusan internal 9 partai ini, untuk memastikan kalau mereka cocok di dalam demokrasi Orde Baru. Majalah Time melaporkan pada tanggal 12 Juli 1971: “Pemerintah juga menyingkirkan 2500 kandidat yang tidak layak dan menangkap banyak lainnya.” Pemerintahan ini menghabiskan 55 juta dolar Amerika (setara dengan 261 juta dolar pada tahun 2009) untuk pemilu ini guna memastikan Golkar meraih mayoritas suara di parlemen dan lalu mampu memilih Soeharto sebagai presiden pada tahun 1973.

Hasil Pemilu 1971

No

Partai

Suara

%

Kursi

1

Golkar

34.348.673

62,80

236

2

Nahdatul Ulama

10.213.650

18,67

58

3

Partai Muslimin Indonesia

3.793.266

6,94

20

4

Partai Syarikat Islam Indonesia

2.930.746

5,36

24

5

Lainnya

3.413.174

6,23

22

TOTAL

54.699.509

100,00

360

Di lima pemilu selanjutnya, hanya tiga partai diperbolehkan berpartisipasi dan kehidupan partai diatur dalam UU 3/1975. Partai-partai Islam dipaksa fusi menjadi satu partai: Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai lainnya secara sistematis dibubarkan dan dipaksa merger ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Untuk memastikan Golkar selalu meraih lebih dari 60% suara, beberapa taktik digunakan oleh rejim Soeharto. PDI dan PPP tidak diperbolehkan mengkritik kebijakan pemerintah. Slogan-slogan dan kandidat-kandidat mereka harus disetujui oleh pemerintah. Semua pegawai negeri harus menjadi anggota Golkar.

Semua hasil pemilu selalu sama: kemenangan telak oleh Golkar, sebuah dominasi elektoral yang tidak pernah terjadi di negara-negara lain, sedangkan kedua partai lainnya hanyalah ornamen untuk memberikan sebuah ilusi demokrasi.

Hasil Pemilu 1977-1997

Tahun

Golkar

PDI

PPP

Suara

%

Suara

%

Suara

%

1977

39.750.096

62,11

5.504.757

8,60

18.743.491

29,29

1982

48.334.724

64,34

5.919.702

7,88

20.871.880

27,78

1987

62.783.680

73,17

9.324.708

10,87

13.701.428

15,97

1992

66.599.331

68,10

14.565.556

14,89

16.624.647

17,00

1997

84.187.907

74,51

3.463.226

3,07

25.341.028

22,43

 

Hasil Pemilu di Era Reformasi

Di balik kemenangan elektoral Golkar yang menakjubkan dalam pesta pemilu selama rezim Orde Baru, terdapat sebuah ketidakpuasan di antara massa. 32-tahun dominasi Golkar hancur seketika oleh gerakan rakyat yang menurunkan Soeharto pada tahun 1998. Krisis ekonomi Asia tahun 1997 mengekspos keajaiban ekonomi Indonesia yang dibangun di atas pasir. Kenaikan harga BBM dan barang-barang yang masif memercikkan gerakan massa dan mahasiswa Indonesia yang berani memimpin gerakan ini dengan mengorganisir demonstrasi-demonstrasi setiap hari. Hanya ketika massa yang luas bergabung, gerakan ini meraih dorongan politik yang mampu menumbangkan pemerintahan Soeharto. Dia digantikan oleh wakil presiden Habibie yang tidak memiliki legitimasi sama sekali. Seluruh hasil pemilu 1997 ditolak oleh massa. Guna mendapatkan legitimasi dan mengalihkan perjuangan massa, kelas penguasa terpaksa mengadakan pemilu pada tahun 1999 dimana larangan membentuk partai dihapus. 48 partai berpartisipasi di pemilu 1999. Ini benar-benar sebuah karnival elektoral bagi rakyat.

Hasil Pemilu 1999

No

Partai

Suara

%

Kursi

1

PDI-P

35.689.073

33,7

154

2

Golkar

23.741.749

22,4

120

3

PPP

11.329.905

10,7

59

4

PKB

13.336.982

12,6

51

5

PAN

7.528.956

7,1

35

6

Lain-lain

14.159.996

13,5

43

TOTAL

105.786.661

100

462

ABSTENSI 10,2%

Hasil Pemilu 2004

No

Partai

Suara

%

Kursi

1

Golkar 24.480.757

21,58

128

2

PDI-P 21.026.629

18,53

109

3

PKB 11.989.564

10,57

52

4

PPP 9.248.764

8,15

58

5

PD 8.455.225

7,45

57

6

PKS 8.325.020

7,34

45

7

PAN 7.303.324

6,44

52

8

Lain-lain 22.659.115

19,94

49

TOTAL 113.488.398

100

550

ABSTENSI 22,9%*

Hasil Pemilu 2009

No

Partai

Suara

%

 

1

PD

21,703.14

20,8

2

Golkar

15.037.757

14,4

3

PDI-P

14.600.091

14,0

4

PKS

8.206.955

7,9

5

PAN

6.254.580

6,0

6

PPP

5.533.214

5,3

7

PKB

5.146.122

4,9

8

Gerindra

4.646.406

4,5

9

Lain-lain

22.971.523

22,2

TOTAL

104.099.785

100

ABSTENSI 38,6%*

Pasca transisi politik 1998, Indonesia menggelar pemilu demokratis kedua. Sekitar 48 partai politik bertarung dalam Pemilu 1999. Pertarungan tersebut hampir mendekati “free-fight” meski dengan sejumlah pembatasan. Tentu saja, tidak seluruh partai memperoleh suara yang signifikan. Banyak analis politik melakukan analisis sentripetal: Kembali pada kejadian di Pemilu 55. Politik Aliran kembali mengemuka secara alat analisis guna memetakan konfigurasi partai politik yang bertarung dan memperoleh suara dalam Pemilu 1999, 2004, 2009 dan kini menjelang 2014.

PDI Perjuangan

Pada pemilu 1999, PDI Perjuangan  keluar selaku pemenang dan kerap dikatakan selaku reinkarnasi dari Partai Nasional Indonesia. Jika kita mengabaikan dimensi emosional konstituen tatkala memilih PDI Perjuangan  (figur Megawati selaku orang “tertindas” Orde Baru), maka PDIP merupakan perwakilan kalangan nasionalis, islam abangan, dan orang-orang “cilik” yang pada pemilu 1955 berpusar pada PKI. Tentu saja, terdapat perbedaan ideologi antara PDI Perjuangan  dan PKI, tetapi basis konstituen mereka relatif sama.  Semenjak PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999, terjadi proses pemborjuisan berskala luas dan nyaris sempurna dalam partai. Para pejuang marhaen bukannya menggunakan kepercayaan rakyat tersebut untuk melancarkan perjuangan melawan penindasan dan kemiskinan struktural, namun ‘berjuang’ melawan kemiskinan pada diri sendiri. Terjadilah proses penghancuran diri sendiri dan perjuangan partai. Ketakterkendalian ini membuat mereka mengabaikan atas persoalan sehari-hari maupun persoalan struktural rakyat Indonesia yang masih terhisap, terpinggirkan dan tertindas. Konsekuensinya, mereka juga abai terhadap soal-soal organisasi. “Political Machine” merupakan julukan Golkar selama orde Suharto. Golkar kurang mampu menyentuh sentimen emosi “orang-orang kecil” seperti PDIP, terlebih figur Megawati yang kuat merepresentasikan Sukarno. Dapat pula disebutkan pembalikan suara ini akibat akumulasi kekecewaan masyarakat dan elit politik Indonesia terhadap Golkar dan Orde Baru.

Massa PDI Perjuangan  relatif cair, pragmatis, dan selalu berubah, seperti yang akan terlihat di pemilu-pemilu kemudian. Era “Reformasi” tidak membawa perubahan fundamental bagi kondisi mayoritas rakyat. Sebaliknya, eksploitasi menjadi semakin gencar dengan diimplementasikannya agenda neo-liberal atas nama menyelamatkan ekonomi Indonesia. Banyak tuntutan-tuntutan “Reformasi” yang tidak dipenuhi atau dilakukan dengan setengah hati. Di mata rakyat, “Reformasi” telah terdiskreditkan. Sifat cair konstituen PDI Perjuangan  menjadi kentara di Pemilu 2004. Megawati kurang berhasil dalam memanfaatkan kedudukannya selaku presiden dalam menyatakan janji-janjinya di Pemilu 1999. PDI Perjuangan yang merupakan simbol “Reformasi”, kehilangan hampir setengah dari dukungan mereka, jatuh dari 33,7% ke 18,53% (menduduki peringkat ke dua setelah Golkar). Dari 154 kursi di pemilu 1999, kursi PDI Perjuangan  anjlok menjadi 109. Di pemilihan presiden secara langsung yang pertama di Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono dari Partai Demokrat menang secara telak dengan 60,9% suara. Hasil pilpres ini adalah bukti yang nyata dari ini. Pada pemilu 2009 PDI Perjuangan mendapatkan dirinya ditinggalkan konstituennya. Perolehan suara meurun secara signifikan menjadi 14% (menduduki peringkat ke tiga). Lagi-lagi calon presiden dari PDI Perjuangan kandas ditangan partai democrat.

Menjelang Pemilu 2014

Bagaimana prospek ke depan dari PDI Perjuangan? kendati menang dalam pemilu 1999 sesungguhnya PDI Perjuangan  : Lebih mengandalkan figur.

Pidato politik Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dalam pembukaan kongres ke III juga menganalis bahwa PDI Perjuangan harus menjadi partai yang ideologis, setelah kegagalan dalam dua kali pemilu terakhir. Ketua Umum mengatakan: Jika kita mau sedikit merenung, maka kita pasti akan sampai pada keyakinan bahwa kegagalan kita dalam memaknai garis sejarah sebagaimana saya sampaikan di atas merupakan inti sebab dari ditinggalkannya PDI Perjuangan dalam dua pemilu lalu. Kemerosotan suara adalah teguran rakyat agar kita kembali ke takdir sebagai sarana dan wadah perjuangan rakyat. Saudara-saudara-ku, ingatlah akan hal ini: rakyat tidak akan pernah ragu-ragu untuk kembali menegur dengan cara lebih keras di tahun 2014 nanti, jika kita gagal kembali ke jalan ideologis kita”.

Pernyataan keras Ketua Umum ini didasari sejumlah persoalan di internal partai yang terjadi dalam skala yang luas. Fenomena perilaku kader yang menjadi elitis dan tidak lagi kembali ke grassroot (akar rumput setelah menjadi pengurus partai, anggota dewan, maupun kepala daerah yang menyebabkan keruntuhan partai terjadi.

Komisi Program di Kongres III PDI Perjuangan di Bali menyiapkan langkah untuk merealisasikan pesan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dalam pidato politik pembukaan kongres, yaitu kembali pada ideologi partai yang peduli rakyat. Langkahnya akan dimulai dari tahap pengelolaan kader. Kader-kader partai ini tersebar di legeslatif, eksekutif dan struktur partai. Untuk mensinergikan kader-kader ini langkah selanjutnya adalah mengkoordinasikan ketiga kekuatan partai ini dengan tidak meninggalkan program ideologi, maka perlu direalisasikan apa yang disebut sebagai cabang pelopor. Cabang Pelopor adalah cabang yang dipilih untuk mengimplementasikan ideologi partai itu menjadi ideologi kerja melalui peran konkret kepeloporan para kader di Tiga Pilar. Tiga Pilar yang dimaksud antara lain jajaran struktural partai, legislatif (DPRD) dan eksekutif (Pemerintah Daerah). Cabang Pelopor ini akan melibatkan seluruh jaringan struktur partai, mulai tingkat DPD (Provinsi), DPC (kabupaten/kota), Pengurus Anak Cabang (kecamatan), Ranting (desa) hingga anak ranting (pedukuhan).

Namun, sebagian besar kader dan simpatisan partai percaya bahwa Megawati masih dibutuhkan oleh PDI Perjuangan untuk membawa partai ini pada kesuksesan politik. Ini merupakan realitas politik yang tidak dapat dibantah, sebab harapan yang dibebankan ke Megawati sejatinya mencerminkan identitas partai yang sesungguhnya. Kebutuhan akan adanya simbol politik yang mampu merekatkan segenap komponen yang ada di PDI Perjuangan ‘memaksa’ Megawati untuk kembali siap dicalonkan menjadi presiden. Meski harus diakui pula bahwa ketergantungan pada simbol politik, dalam hal ini Megawati akan membuat mekanisme kepartaian di PDI Perjuangan cepat atau lambat akan mengalami penyumbatan.

Setidaknya ada lima alasan mengapa sebagian besar kader dan simpatisan PDI Perjuangan masih menginginkan Megawati memimpin partai. Pertama, secara ideologis, PDI Perjuangan memiliki basis massa dari kalangan bawah, yang membutuhkan simbol-simbol politik yang mampu menjawab dahaga akan hadirnya satrio piningit, sebagaimana yang diperankan oleh Soekarno dulu. Dengan kata lain, kebutuhan akan adanya figure yang menjadi symbol politik mengalahkan kebutuhan akan adanya regenerasi politik di tubuh partai tersebut.

Kedua, Megawati merupakan simbol pemersatu di partai. Sepakat atau tidak, selama kurun waktu Megawati memimpin partai dari PDI, lalu bermetamorfosis menjadi PDI Perjuangan, tak banyak konflik yang memecah belah kader dan simpatisan. Jikapun ada, cenderung mengarah kepada pembelahan politik, yang pengaruhnya relative kecil, seperti pada kasus Erros Djarot yang mendirikan PNBK.

Ketiga, Megawati dianggap menjadi Penyambung Lidah Bung Karno, yang akan meneruskan cita-cita dan semangat Bung Karno ke partai maupun ke negara. Apa yang menjadi pemikiran dan kebijakan Megawati kerap kali dipandang sebagai representasi dari pemikiran Bung Karno. Sehingga kehadiran Megawati memimpin kembali PDI Perjuangan diasumsikan sebagai penerusan dari cita-cita dan semangat Bung Karno.

Keempat, Megawati dianggap berhasil membawa PDI Perjuangan kepada kesuksesan politik. Dari partai gurem pada masa Orde Baru menjadi partai yang menjadi pesaing dari Partai Golkar pada dua pemilu terakhir, bahkan pada Pemilu 1999 menjadi pemenang.

Kelima, Megawati dianggap figure yang tepat untuk membawa gerbong kelompok nasionalis maju ke gelanggang politik. PDI Perjuangan, dipandang sebagai satu-satunya partai politik bagi kelompok nasionalis. Dengan adanya figure Megawati di partai, maka secara prinsipil kelompok nasionalis menjadi bagian dari PDI Perjuangan. Sebab selain Megawati merupakan anak Bung Karno, Megawati juga dianggap sebagai figure yang tepat untuk meneruskan tradisi politik keluarga Bung Karno; menjadi lokomotif politik bagi kelompok nasionalis.

Berbagai alasan di atas tampak sangat rasional namun fakta dilapangan justru memperlihatkan keadaan yang kontradiksi. Kekalahan demi kekakalahan terus menerus dialami semenjak PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999. Kader-kader partai yang seringkali menganalisa secara dangkal menyatakan bahwa kunci kemenangan PDI Perjuangan karena dipimpin Megawati hanyalah menjadi semacam pembenaran untuk tidak mau kehilangan pengaruh dari lingkaran birokrasi partai. Fakta lain semenjak PDI Perjuangan memenangkan pemilu 1999 adalah terjadi proses pemborjuisan berskala luas dalam partai.Parapejuang wong cilik bukannya menggunakan kepercayaan rakyat tersebut untuk melancarkan perjuangan melawan penindasan dan kemiskinan struktural, namun ‘berjuang’ melawan kemiskinan diri sendiri. Terjadilah proses penghancuran diri sendiri dan elan perjuangan partai, persis seperti seorang penganggur beroleh hadiah lotere dan menghabiskan semuanya untuk konsumsi yang tak terkendali. Partai dan orang-orangnya mengalami mutasi kelas secara nyaris sempurna!

Ketakterkendailan ini membuat mereka abai atas persoalan sehari-hari maupun persoalan struktural rakyat Indonesia yang masih terhisap, terpinggirkan dan tertindas. Konsekuensinya, mereka juga abai terhadap soal-soal organisasi.Massa, dari mana dia berasal, diabaikan.

Nyaris para orang kaya baru ini hanya mengandalkan ketua umum PDI Perjuangan, ibu Megawati Soekarnoputri, sebagai produk unggulan satu-satunya untuk berpolitik. Sebagai akibatnya, ketika pemerintahan Ketua Umum kita tidak ditopang dan dipasok ide-ide progresif dari orang-orang sekelilingnya yang sudah bermutasi kelas, maka kinerja dan citra partai pun turut remuk di mata rakyat.
Ini merupakan problem terberat dan terbesar yang kita hadapi, karena ini menyangkut watak/karakter yang bukan cuma merusak partai, namun juga merusak bangsa. Karena itu, pemecahan problem kesejarahan, ideologi, politik maupun organisasi harus secara dialektis dan simultan dikaitkan dengan pemecahan problem mutasi kelas dalam jajaran PDI Perjuangan.

Ada beberapa alasan mengapa kaderisasi di tubuh PDI Perjuangan harus bersifat menyeluruh. Pertama, sebagai partai yang memiliki basis massa wong cilik, PDI Perjuangan harus memiliki seorang pemimpin yang mampu menjadi inspirator dan seorang yang mengerti bagaimana menjaga massa pendukungnya agar tetap menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai pilihan. Kader partai yang memiliki kemampuan tersebut seyogyanya merupakan hasil dari pengkaderan partai yang baik.

Kedua, kejenuhan politik di masyarakat melihat prilaku kader partai yang tidak mencerminkan tata nilai dan ideologi partai membuat PDI Perjuangan ditinggalkan pemilihnya. Sehingga dibutuhkan penyegaran politik untuk mengembalikan kepercayaan dan menghilangkan kejenuhan politik masyarakat.

Ketiga, minimnya strategi politik partai sebagai upaya untuk memenangkan hati masyarakat, membuat partai tidak lagi memiliki sesuatu yang dapat menarik hati masyarakat untuk menetapkan pilihannya kepada PDI Perjuangan. Ketiadaan strategi partai ini diasumsikan bahwa cukup mengedepankan figure ketua  umum, maka PDI Perjuangan akan kembali memenangkan Pemilu 2014. Kenyataannya strategi tersebut tidak cukup efektif, terbukti PDI Perjuangan mengalami kekalahan beruntun pada Pemilu 2004 dan 2009 lalu.

Regenerasi dan Kaderisasi

Salah satu indikator sehatnya suatu organisasi adalah ketika terjadi peralihan generasi/regenerasi organisasi dapat berjalan seperti kondisi sebelumnya, bahkan lebih. Regenerasi dapat didefinisikan sebagai sutu perpindahan tongkat estafet dalam berorganisasi dari generasi yang lebih senior ke generasi yang lebih junior, dengan definisi senior dan junior sebagai peristilahan yang luas, bisa dari sisi usia, tahun masuk menjadi anggota dalam suatu organisasi dan lainnya). Sedangkan kaderisasi merupakan suatu usaha yang dirintis untuk mempersiapkan kader-kader penerus dalam suatu proses regenerasi. Dengan kata lain proses regenerasi merupakan suatu hal yang pasti terjadi bilamana suatu organisasi hendak dipertahankan, tanpa melihat lebih dalam kualitas dari orang-orang yang terlibat dalam proses regenerasi. Sedangkan kaderisasi cenderung kepada proses regenerasi yang telah direncanakan sebelumnya, utamanya dari sisi kualitas. Sistem Kaderisasi telah melihat hal-hal kedepan terkait dengan resouces yang ada di organisasi, pos-pos mana yang haus segera diisi dari kekosongan, termasuk didalamnya bagaimana mencetak kader-kader yang handal serta terampil dan berpengetahuan dalam menjalankan organisasi sesuai pos nya kelak. Regenerasi dan kaderisasi merupakan suatu term yang wajib dijadikan ingatan pertama dan utama bagi bagian yang mengelola resource sumber daya manusia. Padanyalah dipertaruhkan masa depan organisasi, keberlagnsungan atau hidup matinya.

PDI Perjuangan, perlu figur-figur muda guna mengisi partai ini. Dahulu, PDIP memiliki orang-orang selaku representasi, kini orang-orang yang serupa dengan itu hampir belum lagi ditemui. Padahal, jika partai ini memenangkan pemilih presiden, sebagai misal, perlu jajaran menteri dari partai yang “mengerti masalahnya.” Di sisi lain, figur dari partai lain sudah muncul. Jika PDI Perjuangan  tidak melakukan pembenahan kader sejak awal, maka pada 2014 suara konstituennya dapat “lari” kepada Partai lain yang mengusung ideologi sama, tetapi dengan figur yang lebih muda dan enerjik. Puan Maharani yang kini menjadi Ketua DPP PDIP bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga, secara tersirat siap menggantikan Mega sebagai capres 2014.

Pemimpin Baru, Capres Baru!

Merdeka!

Rabu, 02 November 2011 07:37 WIB

Puan Maharani.

LENSAINDONESIA.COM: Lontaran Taufiq Kiemas yang meminta agar Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (Mega) tidak maju lagi menjadi calon presiden (capres) 2009, akhirnya bersambut. Sang anak, Puan Maharani, menyatakan kesediaannya untuk menggantikan Megawati.

Puan Maharani yang kini menjadi Ketua DPP PDIP bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga, secara tersirat siap menggantikan Mega sebagai capres 2014.

“Sebagai kader, saya siap ditempatkan dalam posisi apa pun (capres 2014), apalagi itu kalau amanah partai,” ujar Puan usai membuka rapat koordinasi Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga PDIP Kalimantan Timur di Balikpapan, Senin (24/10).

“Kakek saya (Bung Karno) presiden. Ibu saya juga presiden, dan tahun 2014 Insya Allah kita menang. Soal siapa figur-nya yang pasti dia akan dimunculkan PDIP 2014 merupakan kader terbaik partai sehingga akan di-endorse partai,” seru Puan dalam pidato politik di depan para peserta rapat koordinasi.

“Setelah Bung Karno, Ibu Mega, saya yang masih punya darah Bung Karno,” lanjut Puan saat ditanya wartawan.

Namun, syarat utama pencalonan Puan Maharani adalah jika sang ibunda tidak mencalonkan diri lagi sebagai capres 2014 mendatang.

“Bu Mega belum pernah menyinggung akan mundur dari pencalonan presiden mendatang. Amanat Bu Mega kepada kami semua adalah memenangkan Pemilu 2014,” ujar Ketua Fraksi PDIP di DPR RI ini.

Saat ini pun Mega tetap menjadi kandidat terkuat dan mendapatkan seluruh dukungan dari massa PDIP se- Indonesia. Beberapa survai oleh lembaga independen menegaskan hal itu, di mana Megawati lebih populer dari capres Aburizal Bakrie, Wiranto, Prabowo, JK, Ani Yudhoyono dan lainnya.

Meski tidak secara tegas menyatakan siap menjadi penerus Megawati, namun Puan mengklaim sebagai cucu Proklamator Soekarno dirinya cukup layak. “Saya kan masih punya darah Soekarno, setelah ibu Megawati. Coba belah dada saya pasti ada gambar bantengnya,” beber Puan.

Sebelumnya diberitakan, Taufiq Kiemas berharap Mega tidak maju lagi sebagai capres di pemilu 2014 mendatang. Taufiq Kiemas meminta istrinya dapat memberi kesempatan generasi muda sebagai  pemimpin pemerintahan pada 2014 nanti.

“Sebaiknya Mbak Mega tidak maju lagi sebagai capres pada 2014. Sebaiknya memberi kesempatan yang lebih muda saja,” pinta bapak Puan.LI-07

 

Puan Minta Tokoh Muda Nyapres 2014

Posted: November 9, 2011 in berita

Jum’at, 19 Agustus 2011 07:08 WIB |

JAKARTA – Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Hubungan Antar Lembaga Puan Maharani menganggap sudah waktunya tokoh-tokoh muda mendapatkan porsi atau panggung yang lebih besar di pilpres 2014. Menurut dia, kesadaran regenerasi ini penting untuk mencegah terjadinya krisis kepemimpinan di kemudian hari.

“Apapun (pertimbangannya, Red) yang jelas 2014 ini diperlukan generasi muda untuk menjadi pemimpin yang akan datang. Kalau memang ada kesempatannya kenapa tidak,” kata Puan usai mengikuti upacara bendera peringatan HUT “RI di halaman parkir Kantor DPP PDIP, Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (17/8).

Puan menegaskan bukan berarti para tokoh politik senior yang sudah “berusia senja” langsung dipinggirkan begitu saja. Dia cenderung mendukung adanya keseimbangan atau perpaduan antara tokoh muda dan tokoh tua. “Kita berkolaborasi saja,” ujar putri pasangan Taufik Kiemas dan Megawati Soekarnoputri, itu.

Menurut Puan, tokoh muda mutlak diberi ruang kesempatan. Apapun kesempatan yang diberikan, entah itu posisi capres atau cawapres. “Sekali lagi, apapun itu, tokoh muda harus diberi kesempatan untuk bisa membuktikan diri memimpin bangsa ini,” tegas Puan yang juga duduk di Komisi VI DPR.

Namun, saat ditanya siapa saja tokoh muda yang layak untuk tampil, Puan memilih memberi jawaban diplomatis. “Ya kan banyak di koran-koran itu yang sudah disebut,” ujarnya. Bagaimana kalau Puan yang diminta untuk maju, baik sebagai capres ataupun cawapres? “Amin, amin, terimakasih. Lihat saja nantilah,” ujarnya, lantas tertawa lepas.

Puan menyampaikan DPP PDIP sendiri sampai sekarang masih belum membahas masalah capres dan cawapes. Sesuai hasil Kongres III PDIP di Bali, April tahun lalu, sebut Puan, kewenangan itu ada di tangan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. “Jadi, kita lihat sajalah bagaimana pertimbangan ketum untuk memberi kesempatan kepada kader terbaik di partainya, khususnya yang muda “muda,” katanya.

Lebih jauh, Puan berharap kasus M.Nazaruddin tidak menjadi stigma negatif yang mengerdilkan komitment tokoh -tokoh muda. Sebagaimana diketahui, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu memang masih berusia muda, yakni 33 tahun pada 26 Agustus pekan depan.

“Tidak bisa dari satu kasus yang menyangkut satu orang, sepertinya tokoh -tokoh (muda) yang ada di parpol sama semua,” kata Puan. Dia menyampaikan para tokoh muda tidak boleh terpengaruh dan harus tetap percaya diri. “Yang penting kita kerja secara nyata dan jelas. Sehingga rakyat bisa melihat apa saja yang kita lakukan,” tandas Puan.

Menanggapi hal ini, pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi menilai, kemunculan tokoh-tokoh muda masih berat hingga 2014 nanti. “Masih jauh panggang dari api,” ujar Burhanuddin Muhtadi.

Dia menilai, secara kuantitas dan kualitas, keberadaan tokoh muda yang ada sekarang masih belum bisa menjadi opsi kepemimpinan nasional kedepan. “Faktanya sekarang, eranya masih cenderung gerontokrasi, masih dikuasai orang-orang tua,” imbuhnya.

Dua dari sekian tokoh muda yang menonjol, Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan putri Megawati Puan Maharani, juga dianggap setali tiga uang dengan fenomena secara umum. “Mereka juga masih jauh,” nilai Burhan, sambil tertawa. Dia memaparkan, meski menjabat sebagai ketua umum, Anas bukan lah sopir utama Demokrat. “Remote-nya tetap di SBY, apalagi ini Anas terkena imbas kasus Nazaruddin, jadi semakin jauh. Sedangkan, Puan masih terlihat nyaman di ketiak ibunya,” tandasnya.

Meski demikian, dia menyatakan, bahwa peluang munculnya tokoh muda 2014 nanti sebenarnya bukanb tertutup sama sekali. Masih ada waktu hingga tiga tahun kedepan. “Selain itu, yang perlu diingat, bahwa kekuasaan itu harus direbut, tidak bisa hanya minta kepada tokoh-tokoh tua itu,” imbuh Burhan. (pri/dyn)

Rabu, 15 Juni 2011

Jakarta, PelitaOnline — KETUA Fraksi PDI Perjuangan Puan Maharani menegaskan,saat ini yang diperlukan bangsa Indonesia adalah mengamalkan Pancasila. Salah satuhal pengamalan Pancasila, kata Puan,dapat dilakukan dengan mendorong pengesahan Rancangan Undang Undang Badan Jaminan Sosial Nasional (RUU BPJS) menjadi UU.

Pasalnya, RUU itu merupakan perwujudan dari sila kelima Pancasila; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Karena, jika RUU itu dapat segera disahkan, keadilan sosial bagi seluruh masyarakat akan tercipta

“Dorong terus pengesahan RUU BPJS. RUU itu perwujudan dari sila kelima Pancasila. Mendorong pengesahan RUU sama dengan pengamalan Pancasila,” ucap Puan saat diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (15/6).

Diketahui, saat ini, RUU BPJS tengah dibahas bersama antara pemerintah dan DPR. RUU atas inisiatif DPR itu merupakan amanat dari Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 dan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Baik dalam UUD 1945 maupun dalam UU SJSN, ditegaskan, setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan sosial (Jamsos). Faktanya, hingga saat ini, yangmendapat perlindungan, dan jamsos hanyalah sebagian rakyat saja. Padahal, adanya Jamsos dapat menciptakan kesejahteraan sosial.

Saat ini negara dituntut menyelenggarakan SJSN secepat mungkin. Problemnya, pelaksanaan SJSN tak bisa dilakukan tanpa ada badan penyelenggaranya, yakni BPJS seperti yang tertuang dalam UU SJSN.

Karena itu, pengesahan RUU BPJS akan memberi harapan bagi seluruh rakyat untuk mendapatkan kesejahateraan yang pada akhirnya akan menciptakan keadilan sosial.(Dian)

PDIP Minta KPK Lebih Agresif

Posted: November 9, 2011 in berita

Jumat, 27 Mei 2011 13:34 WIB

//

WartaNews-Jakarta – KPK diminta bertindak secara tegas dan tidak tebang pilih dalam menyelesaikan sejumlah kasus korupsi yang terjadi selama ini.

Hal tersebut disampaikan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),  Puan Maharani di kantor fraksi PDIP DPR RI, Jakarta, Jumat (27/5), saat menanggapi kinerja KPK dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia yang dinilai tidak agresif.

“kami fraksi ataupun partai PDIP sudah menyatakan, apapun yang harus diproses hukum sebaiknya jangan ditebang pilih, dan proseslah menurut hukum yang ada dan siapapun yang salah memang harus diproses,” ujar Puan.

Puan juga berharap agar proses hukum berjalan dengan adil dan tidak membeda-bedakan.

“Jadi saya harap agar proses hukum berjalan dengan adil dan siapapun yg terlibat, tidak melihat warnanya apa, “pungkasnya. (*/ipk)

 

Selasa, 7 April 2011

Jakarta – detikcom Ketua Bidang Politik dan Hubungan antar Lembaga PDIP Puan Maharani tidak setuju jika intelijen harus melakukan pemeriksaan intensif yang bisa diartikan penangkapan seperti klausul dalam RUU Intelijen. Puan berpesan intelijen jangan semena-mena.

“UU Intelijen bagaimana seharusnya yang diinginkan,” ujar Puan di kantor PDIP, Jl Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (28/3/2011).

Menurut Puan, penangkapan yang dilakukan intelijen harus segera ada payung hukumnya. Sebab hal itu bisa melanggar HAM.

“Yang diributkan adalah penangkapan yang bisa dilakukan dengan merta-merta dan semena-mena. Itu yang harus dicari payungnya,” tutur putri Megawati Soekarnoputri ini.

Puan menambahkan, PDIP juga sudah menginstruksikan politisi PDIP di Komisi I yang menggodok RUU Intelijen itu, untuk menghormati HAM dalam menggarap RUU itu. RUU Intelijen jangan sampai merugikan rakyat.

“Kami sudah menginstruksikan kepada Bapak TB Hasanuddin dari komisi I, bahwa HAM itu harus dihormati. Tapi juga harus ada payung hukum jangan sampai merugikan rakyat. Itu yang harus dibahas,” kata cucu mantan Presiden Soekarno ini.

Dalam penggodokan RUU Intelijen, pemerintah mengajukan klausul pemeriksaan intensif oleh intelijen selama 7×24 jam. Hal ini dinilai Kontras sebab pemeriksaan intensif sama saja penangkapan. Penangkapan sama saja melanggar HAM.

 

Puan: PDIP Tak Setuju Capres Independen

Posted: November 9, 2011 in berita

Senin, 28 Maret 2011, 16:59 WIB

Puan Maharani (Puan-Maharani.com)

// VIVAnews – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tak mendukung usul untuk mengakomodasi calon presiden independen. Ketua Bidang Politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Puan Maharani, menyatakan belum saatnya Indonesia membuka jalur pencalonan itu.

“Kami merasa belum diperlukan hal itu untuk bisa dilakukan,” kata Puan dalam jumpa pers di DPP PDIP, Jakarta, Senin, 28 Maret 2011.

Puan malah mempertanyakan dasar gagasan tersebut. “Kalau hal itu terjadi kemudian apa fungsi dari parpol yang sesungguhnya? Apakah parpol hanya dijadikan batu loncatan saja untuk orang-orang yang kemudian maju? Dan bagaimana kami mengikat mereka, jika mereka kemudian bisa menjadi salah satu pimpinan nasional?” Puan mempertanyakan.

Puan melihat calon presiden dari jalur perseorangan apabila menang pemilu tetap tidak akan dapat bisa bekerja maksimal, karena akan kesulitan mencari dukungan yang solid di parlemen atas kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Menurut Puan, lebih baik jika fungsi dan peran parpol diperkuat untuk dapat memajukan perpolitikan di Indonesia.

“Lebih baik kita memaksimalkan fungsi partai politik yang ada daripada kita membuat suatu undang-undang yang belum jelas bagaimana masa depannya,” kata Puan. “Fungsi partai politik itu yang harus dimaksimalkan untuk berjalannya demokrasi ke depan.” (kd)

 

Rabu, 16 Februari 2011 at 01:25 |

 Jakarta, matanews.com Pemerintah dinilai lebih banyak berpikir daripada bertindak, sehingga terkesan lamban dalam menangani berbagai kerusuhan massa yang melibatkan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

“Pemerintah sepertinya tidak bisa mengantisipasi, lebih banyak berpikir daripada bertindak,” kata Ketua DPP PDIP Puan Maharani di Blitar, Jawa Timur, Selasa 15 Februari 2011.

Ia menilai, pemerintah tidak segera tanggap menyelesaikan masalah tersebut, sehingga hal itu berdampak buruk dengan berlarut-larutnya dan tidak segera ada penyelesaian.

Seharusnya, kata dia, pemerintah lebih proaktif menangani masalah ini, karena menjadikan agama baru bagi Jamaah Ahmadiyah ataupun membubarkan FPI itu bukan jalan terbaik.

“Pemerintah harus lebih proaktif mengatasi masalah ini. Undang – Undang juga menjamin dan melindungi warganya untuk melakukan ibadah sesuai dengan agamanya masing – masing,” katanya.

Puan yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Komisi VI ini meminta, pemerintah untuk bertindak tegas untuk membubarkan aksi – aksi anarkis orang – orang yang tidak bertanggungjawab, tidak hanya sibuk berbicara di media massa, tetapi juga melakukan langkah nyata.

Menyinggung dengan adanya tudingan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menyatakan ada indikasi polisi terlibat dalam aksi penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di berbagai wilayah Indonesia, termasuk yang di Pendeglang, Banten, Puan tidak ingin menuduh.

Ia hanya mengatakan, asas praduga tak bersalah harus dipegang agar masalah ini tidak berlarut – larut, karena itu pihaknya meminta pemerintah bertindak dengan nyata.(ant/hms)

Puan Maharani: Cabut SKB 3 Menteri

Posted: November 9, 2011 in berita

Rabu, 9 Februari 2011, 13:41 WIB

// VIVAnews – Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Puan Maharani, meminta Surat Keputusan Bersama tiga menteri yang mengatur soal Ahmadiyah dicabut.

“PDI Perjuangan minta dicabut SKB 3 menteri, jangan jadi abu-abu,” kata putri Megawati Soekarnoputri itu di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 9 Februari 2011. “Bukan sekadar direvisi, tapi dicabut. Harus diganti aturan yang lebih jelas,” ujarnya.

PDIP Perjuangan, kata Puan, mengutuk hal-hal yang berkaitan dengan intoleransi beragama. “Kami minta aparat tidak memihak. Mengapa hal ini terus berlanjut tanpa kepastian hukum,” ujarnya.

Surat Keputusan Bersama mengenai Jemaah Ahmadiyah yang diterbitkan pada 9 Juni 2008 lalu, ini mulai dibahas serius oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Hari ini, mereka membahasnya dalam rapat yang digelar di Kantor Kementerian Agama.

Pembahasan SKB ini dilakukan menyusul kekerasan yang kembali menimpa Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Minggu 6 Februari lalu. Dalam insiden ini, empat jamaah tewas mengenaskan dan lima lainnya luka berat.

Inilah isi SKB tersebut:

1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI.
5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku.
6. Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini.
7. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, 09 Juni 2008
.

(umi)

Rabu, 9 Februari 2011, 14:06 WIB

Puan Maharani (Antara/ Nyoman Budhiana)

// VIVAnews – Puan Maharani, salah satu Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, berharap pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai pembubaran organisasi massa bukan sekadar retorika. Puan menunggu pelaksanaannya.

“Semoga itu ditanggapi jajarannya, dilaksanakan,” kata Puan Maharani di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu 9 Februari 2011.

Puan mengatakan, dulu Presiden pernah menyatakan seperti itu, bahwa akan membekukan ormas yang melanggar hukum. “Saya harap Presiden hari ini tidak hanya beretorika,” katanya.

Hari ini di Kupang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan aparat penegak hukum tidak segan-segan membubarkan organisasi masyarakat yang melanggar hukum. Penegak hukum juga diperintahkan menindak seruan di muka umum untuk melakukan penyerangan massal.

Pada 30 Agustus 2010 lalu, Kapolri saat itu, Bambang Hendarso Danuri, menyatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (ormas) yang telah berulang kali melakukan tindakan anarki, sudah selayaknya dibekukan. “Sayangnya hal itu belum diatur dalam UU Ormas,” kata Kapolri.

Menkopolhukam Djoko Suyanto mengatakan bahwa UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas memang sudah kadaluarsa dan tidak sesuai dengan perkembangan dinamika dalam masyarakat, sehingga perlu direvisi. Ia bahkan menekankan agar revisi UU Ormas menjadi prioritas bersama DPR dan pemerintah.

Benarkah kadaluarsa? Anggota Komisi II DPR Nurul Arifin berpendapat lain. “Undang-undang itu masih sangat relevan dan komprehensif,” ujar politikus Golkar itu. Pasalnya, kata Nurul, UU tersebut ternyata telah mencantumkan pasal tentang sanksi terhadap ormas anarki, termasuk sanksi berupa pembekuan apabila ormas terkait mengabaikan teguran pemerintah. (umi)